JAKARTA – Sri Maharaja Sri Wameswara Madhusudana Watarandita Parakrama Digjoyottunggadewama Jayabhalancana (1135-1157) dikenal sebagai pemimpin yang adil dan visioner pada masanya.
Raja Kediri itu dikenal dengan ramalannya yang populer disebut Ramalan Jayabaya.
Jayabaya hadir pada masa-masa sulit hingga akhirnya dapat membawa Kerajaan Kediri menuju masa kejayaan. Jayabaya berjasa dalam penyatuan kembali kerjaan yang sebelumnya pecah di masa kepemimpinan Raja Airlangga.
Karena jasanya tersebut, dia mendapat sebutan sebagai Sang Ratu Adil dan Satria Piningit.
Melansir Solopos, dikutip dari karya ilmiah dan literasi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Bali yang berjudul Ratu Adil Satria Piningit dan Zaman Edan, secara harfiah, Satria Piningit diartikan sebagai ksatria yang masih tersembunyi oleh zaman. Sedangkan Ratu Adil diartikan sebagai pemimpin yang bijak dan adil.
Masyarakat zaman dulu beranggapan, sebutan Satria Piningit dan Ratu Adil adalah satu kesatuan, padahal tidak demikian. Seorang pemimpin yang dipandang sebagai Satria Piningit belum tentu menjadi Ratu Adil. Sebab untuk menjadi Ratu Adil harus bersikap adil dan peduli kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok dan golongan yang mendukungnya.
Anggapan makna gelar yang sama antara Satria Piningit dan Ratu Adil muncul dari istilah Jawa yang berbunyi Satria Piningit sinisihan wahyu ratu adil yang menjadi pedoman dalam mencerminkan karakter seorang pemimpin. Dari ciri, sifat, dan karakter yang disebutkan lebih merujuk kepada model kepemimpinan dari suatu negara yang pemimpinnya mampu menegakkan keadilan.
Merujuk pada Kitab Musarar dari Sunan Giri Prapen yang berisi ramalan-ramalan Jayabaya, juga menunjukan konsep ketatanegaraan yang apabila diterapkan mampu menghasilkan masyarakat adil dan makmur sebagai penggambaran Ratu Adil. Demikian juga dalam penggambaran Satria Piningit (Ksatria penolong yang tersembunyi) ditandai dengan munculnya Ratu Adil.
Dalam kitab tersebut, terdapat bait yang berbunyi “Prabu tusing waliyulah, kadhatone pankekaling ing Mekah ingkah satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, prenahe iku kaki, perak lan gunung Perahu, sakulone tempuran, balane samya jrih asih, iya iku ratu rinenggeng sajagat.”
(Raja keturunan waliyulah, berkedaton dua d Mekah dan Tanah Jawa, letaknya berada dekat dengan Gunung Perahu sebelah barat tempuran (pertemuan dua sungai), dicintai pasukannya, memang Raja yang terkenal di dunia)
Gunung Perahu adalah simbol dari Bukit Siguntang yang merupakan datarang tinggi di wilayah Kota Palembang. Sementara ‘tempuran’ merupakan tempat pertemuan antara Sungai Musi dan Sungai Ogan yang lokasinya tidak jauh dari Bukit Siguntang. Sebelah barat terdapat Masjid Muara Ogan. Bukit Siguntang merupakan simbol kejayaan Kesatuan Sriwijaya yang ditandai ditemukannya prasasti Kedukan Bukit di kaki Bukit Suguntang.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di
ORION, daftar sekarang dengan
klik disini
dan nantikan kejutan menarik lainnya